Foto sama Arbain Rambey selepas workshop.
BERKAH Hari Pers
Nasional (HPN) di Bengkulu, saya juga kecipratan dunk. Kecipratan buat
nambah pengetahuan baru mengenai fotografi, kegiatan yang saya cintai
sejak tahun 2011. Salah satunya mengenai Street Photography dari Bang Arbain Rambey. Padahal biasanya dia lebih sering mengisi materi foto juralistik loh.
Yap, Arbain dikenal sebagai jurnalis foto
senior sekaligus redaktur foto di salah satu media nasional besar di
Indonesia, Kompas. Kamis, 6 Februari 2014 lalu, pria kelahiran 1961 itu
menjadi pembicara Workshop Fotografi kerjasama Kompas dan Himpunan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Bengkulu. Workshop yang diadain di Gedung C.
Street photography menurut
Arbain merupakan genre foto menurut dimana lokasi pengambilannya. Bisa
di jalanan maupun ruang-ruang publik. Pengetahuan baru yang saya dapat,
meski mencakup kegiatan manusia, street photography ternyata nggak harus secara fisik memasukkan manusia ke dalam gambar. Manusia bisa diwakili melalui simbol-simbol tulisan, bayangan dan lain-lain.
Terus apa bedanya dengan foto Human Interest (HI) ? Hampir
sama. Hanya saja dalam foto HI lebih menonjolkan sisi manusia bersama
kemanusiaannya, sementara street photography lebih luas cakupannya.
Termasuk bentuk arsitektur, seni dan abstrak, itu juga termasuk street photography. Arbain menyimpulkan, HI sudah pasti masuk ke dalam genre street photography, tapi tidak sebaliknya.
Lantas, dari sisi mana kita bisa menilai foto street photography itu
hingga bisa dikatakan bagus? Rupa-rupanya fotografer yang sudah puluhan
tahun berkutat di dunianya pun bingung mendefinisikan foto bagus. Dalam
artian bukannya nggak tahu sama sekali. Tapi ini soal rasa yang nggak
bisa dijabarkan sama kata-kata.
Arbain pun menganalogikan menilai foto bagus itu sama kayak ketika memilih baju yang bagus buat kita dan makan lontong.
Dimana tiap-tiap individu punya perbedaan menilai mana baju yang bagus
dan cocok untuk dipakai, juga mana rasa lontong yang enak dilidah. Analogi
itu pun dikaitkan dengan strategi mengikuti lomba foto, yang suka-suka
sama jurinya suka foto yang mana. Biar kadang menurut kita nggak bagus,
malah bagus kata juri.
Balik ke street photography, secara teknis Arbain menyatakan kita nggak perlu banyak mikir, pertimbangan apalagi bimbang untuk memencet tombol shutter. Minimal
kalo nggak dapet foto bagus, kita sudah punya foto aman. Katanya,
ketimbang nggak dapet foto sama sekali. Momen sepersekian detik akan
berlalu begitu saja.
Soal settingan kamera, disarankan
menggunakan setelan yang mudah dikuasain. Malah dia merekomendasikan
setting otomatis dan jangan minder pakai mode auto. Toh kamera teknologi
canggih dipasarkan untuk mempermudah motret.
Anggapan bahwa software pemercantik foto
seperti Adobe Photoshop adalah “tabu” buat fotografer handal termasuk
foto jurnalistik, juga ditepisnya. Karena teknologi-teknologi itu dibuat
untuk membuat karya-karya semakin kinclong dengan catatan tidak menipu
dan rekayasa.
Foto yang baik adalah foto yang
direncanakan. Fotografer wajib mengusai lapangan atau lokasi hunting.
Sehingga tau mana saja spot-spot yang kira-kira sudah pasti bakal dapat
foto bagus. Sehebat apapun fotografernya, secanggih apapun kameranya
tapi kalau berada di tempat dan waktu yang salah, habislah sudah.
Nyenggol foto jurnalistik, kalau di
Kompas pada beberapa liputan penting fotografernya bahkan disuruh
menggambar dulu di kertas kira-kira nanti hasil fotonya seperti apa. Pas
pulang, fotografer bawa foto yang mirip dengan foto yang digambarnya.
Edan euyy.
Street photography punya
tantangan tersendiri. Si fotografer mesti berinteraksi dengan sesama
manusia dengan berbagai karakter untuk menjadikannya sebagai objek foto.
Tentunya dengan lingkungan juga. Pandai-pandai membaca situasi,
sensitif, buka mata lebar-lebar dan memiliki kepekaan menjadi kunci
sukses. Mau slonong boy
juga oke-oke aja, asal tetap awas. Jangan sampai karena tidak nyaman,
kita malah ditonjok atau dilempari batu oleh orang yang ogah difoto
misal kayak motret waria atau gepeng di jalanan.
Kreatif n bikin foto yang ngebosenin dilihat, juga perlu diperhatikan dalam street photography. Mood
foto harus jelas membangun emosi jenaka, lucu, sedih, miris, kontras
dan lain-lain. Pada beberapa kasus, banyak fotografer di belahan dunia
ini memotret foto yang hampir mirip di momen yang hampir mirip pula.
Misal foto barisan ibu-ibu antre minyak
tanah. Ada beberapa foto di empat belahan dunia dengan fotografer
berbeda sama-sama menonjolkan objek anak tergencet di bagian tengah
sebagai Point of Interest (PoI). Ngakalinya, memotretlah satu objek dari
banyak sudut berbeda-beda. Elemen di dalam foto dalam street photography so pasti jangan ditinggalin. Teknik, komposisi, posisi dan momen seperti diulas diatas menjadi pedoman kita.
Nah, thats all. Itu aja deh hasil
workshop yang saya tangkap dari Arbain Rambey. Mungkin kawan-kawan lain
yang menjadi peserta punya tambahan ulasan berbeda atau punya persepsi
lain, ya monggo ditulis juga biar bisa dibaca-baca n ajang share
Note: Thanks soo much buat
Liona Aprisof,
Dimas,
Mbak Diana n
kawan-kawan lain yang udah berbagi informasi ada wokshop ini di Unib.
Kalau nggak ada yang share di facebook, pasti dah bakal kelewatan
Ikutan workshop sama bang Arbain ini kali
kedua yang saya ikutin. Sebelumnya di Jakarta tahun 2011 saya ikutan
workshopnya Fotografer Net (FN) di gedung Data Script, Kemayoran. Soal
menggali kreativitas. Ada Kristupa Saragih pula. Secara walau yang
dijelasin kalau terkait dengan fotografi jurnalistik masih sama aja,
ilmu barunya lebih dapet di street photography.
Arbain, Siapa Sih?
Orang Indonesia, suka fotografi, tapi
nggak tau sama Arbain Rambey, jiaaah tepok jidat dah. Dari sumber-sumber
internet yang saya baca Arbain ini adalah Sarjana Teknik Sipil alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1988.
Salah
satu buku karya fotonya adalah ‘Indonesia, Mist of Time’ yang
diterbitkan oleh Waterous & Co. di London pada tahun 2005. Arbain
juga pemenang beberapa penghargaan fotografi dari berbagai lomba foto
bertaraf nasional dan internasional seperti Juara Tunggal Festival Seni
Internasional Art Summit 1999, serta memenangkan medali perunggu 2 tahun
berturut-turut pada Lomba Salon Foto untuk tahun 2006 dan 2007.
Selain
bekerja sebagai fotografer di Harian Kompas, Arbain juga mengajar di
beberapa universitas seperti Universitas Pelita Harapan, Universitas
Media Nusantara dan Darwis School of Photography. Arbain juga kerap
mengadakan pameran foto baik secara bersama dengan fotografer lain atau
pameran foto tunggal seperti Ekspresi (Medan, 2002), Mandailing (Medan,
2002), Senyap (Bentara Budaya, Jakarta, 2004) dan Colour of Indonesia
(Galeri Cahaya, Jakarta, 2004). Sumber : disini.